Opini  

Upaya Hukum Bagi Korban Arisan Online

Opini

Avatar Of Wared
Upaya Hukum Bagi Korban Arisan Online
Arie Kusumah SH MH

Oleh : Arie Kusumah SH MH

Arisan online atau sering disingkat Arisol, sudah bukan hal yang baru bagi masyarakat. Tidak seluruh Arisol berjalan lancar. Kasus arisan online terus terjadi, merugikan banyak korban dan jumlah uangnya juga tidak sedikit.

Baru baru ini, kasus arisan online fiktif yang mencuat terjadi di Rejang , provinsi . Kasus itu tengah diusut polisi. Data kepolisian, setidaknya nilai kerugian para korban mencapai kurang lebih Rp 3 Miliar (Edisi fokus , Kamis 30 Juni 2022).

Pada praktiknya, Arisol terjadi hanya karena unsur kepercayaan antara sesama peserta atau antara peserta dengan pemimpin/ketua.

Sang pemimpin alias owner dipercaya untuk mengumpulkan uang arisan dari seluruh peserta. Banyak masyarakat, khususnya para kaum ibu yang tertarik ikut Arisol karena skema keuntungan yang ditawarkan sangat menggiurkan.

Banyak pula yang sekadar ikut-ikutan tanpa mengenal peserta lainnya. Bahkan mungkin tidak mengenal owner arisannya sendiri.

Bagaimana tinjauan hukum terkait kasus Arisol? Gugatan perdata ketika para peserta Arisol telah mencapai kesepakatan mengenai mekanisme arisan, jumlah uang dan jangka waktunya, maka pada saat itu telah terjadi suatu perjanjian.

Secara hukum, perjanjian tidak harus dalam bentuk tertulis, namun juga secara lisan, sepanjang telah memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian adalah sah secara hukum apabila memenuhi syarat: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal Ketika perjanjian sah menurut hukum, maka perjanjian tersebut berlaku menjadi undang-undang bagi mereka yang mengadakannya.

Hal ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda (sebagaimana diatur Pasal1338 KUHPerdata ). Artinya, semua peserta arisan harus mematuhi setiap kesepakatan yang telah dibuat dan disepakati bersama.

Apabila ada peserta tidak menyetorkan uang arisan sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati, maka peserta tersebut telah melakukan ingkar janji (wanprestasi).

Begitu pula owner jika tidak menyerahkan uang kepada peserta yang telah gilirannya mendapatkan arisan, maka owner tersebut dapat dianggap telah melakukan wanprestasi.

Terkait perbuatan ingkar janji tersebut, para peserta arisan yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Langkah itu dapat dilakukan setelah memperingatkan sang owner agar melaksanakan kewajibannya.

Adapun pengajuan gugatan yang bertujuan mendapatkan penggantian biaya, kerugian dan bunga diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata : “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

Namun, perlu diperhatikan bahwa pada umumnya arisan online disepakati secara lisan, sehingga tidak mempunyai perjanjian tertulis. Hal itu akan mempersulit untuk membuktikan wanprestasi.

Upaya hukum secara perdata melalui gugatan ini menjadi lebih sulit apabila ternyata arisan online tersebut fiktif.

Pasalnya, biasanya identitas owner tidak jelas. Sementara pemeriksaan dalam hukum acara perdata bersifat pasif. Pihak penggugat yang wajib untuk membuktikan gugatannya, termasuk jelas tidaknya pihak tergugat.

Tidak jelasnya pihak tergugat dapat berakibat pada tidak diterimanya gugatan oleh pengadilan. , , hingga pencucian uang. Selain gugatan perdata, korban arisan fiktif juga bisa menempuh jalur pidana di kepolisian.

Berkaca pada kejadian-kejadian Arisol fiktif selama ini, secara hukum pidana, owner Arisol dapat diduga melakukan tindak pidana dan/atau tindak pidana .

Dengan demikian, para peserta arisan yang merasa dirugikan dapat melaporkan dugaan tindak pidana tersebut kepada kepolisian dengan sangkaan Pasal 372 dan/atau Pasal 378 KUHPidana.

Pasal 372 KUHPidana : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena , dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Pasal 378 KUHPidana : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Apabila owner tersebut menggunakan uang arisan untuk kepentingan pribadinya, seperti membelikan aset atau melakukan transfer kepada anggota keluarganya, maka dapat dikenakan pula ketentuan tindak pidana pencucian uang.

Hal itu diatur pada Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi: “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Penulis berprofesi sebagai Advokat dan Konsultan Hukum.