Opini  

Pendidikan Afirmasi Tumbuhkan Inovasi

Avatar Of Tim Redaksi
Pendidikan Afirmasi Tumbuhkan Inovasi
Totok Amin Soefijanto

Penulis: Totok Amin Soefijanto

Satujuang.com – Ubah cara pandang dan struktur organisasi. Itu salah satu kunci perbaikan mutu menurut Mitchel Resnick.

Pendidikan Afirmasi Tumbuhkan Inovasi

Profesor LEGO Papert bidang riset pembelajaran di Media Lab MIT (Massachussetts Institute of Technology) itu mengemukakan keprihatinannya pada situasi sesudah pandemi menerpa sejak awal 2020 lalu.

terancam mengalami kemandekan dan kehilangan kepercayaan publik yang serius.

Ada dua kendala yang menurut dia akan dihadapi pada setiap ikhtiar untuk memajukan , yaitu pergeseran pikiran orang dan pergeseran struktur organisasi.

Dalam sebuah diskusi daring beberapa waktu lalu dengan tema Playing with ideas: Cultivating student creativity, innovation and learning in schools yang diselenggarakan oleh OECD di Paris, Mitchel dengan bersemangat menyatakan dua kendala tersebut akan berubah dari waktu ke waktu, dan kita harus siap mencari solusi secara terus-menerus.

Ibarat legenda Sysiphus, manusia harus mendorong batu ke puncak bukit, yang kelak akan menggelinding ke lembah lagi, lalu kembali mendorongnya ke puncak.

Never ending efforts. Bagaimana caranya mengatasi dua kendala besar tersebut di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini

Ki Hadjar Dewantara pernah menjalankan ikhtiarnya mengatasi persoalan cara pandang (mindset) dan struktur organisasi itu.

Dia menerobos kemandekan institusi persekolahan dengan menciptakan Taman Siswa dan sekaligus menciptakan metode belajar yang menggambarkan proses pembelajaran adalah seperti berjalan di taman, menyenangkan dan membebaskan.

Ini seperti menggabungkan pemikiran Jalalludin Rumi, Paulo Freire, dan Jean Jacques Rousseau. Ki Hadjar menjadi figur nasional bangsa kita yang penting di sektor karena keberaniannya mengusulkan konsep baru dalam mendidik anak-anak bangsa.

Baca Juga :  Affirmative Action dan Nasib Kaum Perempuan di Penyelenggara Pemilu 2024

Di tengah pengaruh konsep ala yang cenderung merendahkan kaum pribumi yang miskin dan terjajah, beliau tergerak untuk memunculkan ide alternatif: menjadikan anak didik sebagai pusat dalam proses pembelajaran yang menggembirakan.

sudah lama hengkang dari . Kini, kita sudah menjadi tuan di negeri sendiri dalam mengelola .

Kenapa kita tidak juga melihat ukuran kinerja yang membanggakan Peringkat di PISA dan berbagai tes tingkat internasional tidak juga beranjak naik.

Kita bahkan melihat negeri tetangga seperti Vietnam dan Thailand merangkak naik menyalip , sementara kokoh bertengger di puncak klasemen.

Untung tidak ada sistem liga sehingga kita tidak terancam terdegradasi ke liga di bawahnya. bukan kompetisi , tentu saja.
Skor dan peringkat sebenarnya memberikan acuan buat mereka yang berpandangan empiris positivis dalam mengukur baik-buruk atau berhasil-gagal dalam mengukur berbagai sistem yang ada di dunia ini.

Mereka yang berpandangan rasional dan non-positivis tentu ingin menonjolkan keunikan setiap sistem yang perlu dilihat secara keseluruhan dan lintas sejarahnya.

memang bukan ancaman lagi, tapi ada ancaman lain yang tak kalah berat, yakni kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Betapa mengenaskan kalau kita melihat anak-anak didik kita masih terbata-bata dalam memahami buku bacaan, bingung dalam berhitung, dan tidak bernas dalam mengekspresikan pikirannya dalam lisan dan tulisan.

Belum lagi soal rendahnya literasi keuangan sehingga banyak anak muda milenial dan Z yang terjebak pinjaman daring (pinjol), investasi bodong, dan dukun penggandaan uang.

Baca Juga :  Pimpinan DPRD Seluma Sidak PT Agrindo Indah Persada

Belum selesai itu, ke depan, kita akan menghadapi serbuan sistem kecerdasan buatan yang akan menjungkirbalikkan cara kita belajar dan mengajar selama ini.

Seperti yang disampaikan Mitchel di atas, tidak cukup kita hanya mengutak-atik kurikulum, rencana pembelajaran, dan sarana-prasarana sekolah.
Yang perlu diubah itu cara pandang (mindset) semua pihak, mulai dari politisi, birokrat, rektor, kepala sekolah, , dan dosen dalam memandang masalah saat ini dan solusinya.

Yang perlu diubah juga ialah struktur organisasi yang melingkupi kelembagaan pemerintah di pusat dan daerah sampai ke kampus dan sekolah agar perubahan cara pandang tadi dapat terjadi dan berkelanjutan.

Apa cara pandang yang perlu diubah Pertama, pengabaian terhadap keluarga. Kedua, pengembangan profesi pendidik yang tidak berkelanjutan.

Ketiga, anggapan iptek sebagai pengganggu proses pembelajaran. Keempat, mutu ditentukan oleh anggaran yang tersedia. Kelima, minimnya kolaborasi dalam membangun ekosistem .

Apa struktur organisasi yang perlu diubah Pertama, tersebarnya anggaran dan urusan di berbagai kementerian/lembaga.

Kedua, sistem administrasi dan birokrasi yang tidak cerdas dan terpadu. Misalnya, pendidik yang terus-menerus diminta dokumen yang sama setiap tahun.

Ketiga, lembaga pengembangan profesi pendidik yang stagnan. Keempat, naiknya kuantitas lembaga yang mengorbankan kualitas. Kelima, lembaga dan pelatihan calon pendidik yang tidak progresif.

Sistem memerlukan perbaikan yang berkelanjutan. Pergeseran cara pandang dan struktur organisasi pertama yang perlu diubah ialah pengabaian terhadap pendidikan keluarga.

Dalam riset terbaru (Februari 2023), ada temuan menarik, antara lain pendidikan keluarga atau parental education mengurangi kesenjangan dalam kemampuan melakukan inovasi antara anak didik dari keluarga miskin dan keluarga kaya.

Baca Juga :  Musra dan Pesan Perlawanan Presiden Jokowi

Studi yang membandingkan sistem pendidikan Finlandia dan A itu mengamati 1,45 juta anak didik dan orangtuanya dengan membandingkan data tahun 1930 dan 1980.

Latar belakang pendidikan orangtua, misalnya lulusan S-2, menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam membuat anak didik siap melakukan inovasi (Philippe Aghion, Ufuk Akcigit, Ari Hyytinen, and Otto Toivanen, 2023).

Studi ini juga menyarankan program-program afirmasi untuk mencegah hilangnya bakat terpendam yang mungkin datang dari kalangan anak-anak keluarga miskin sehingga mengeklaim ‘kurangi hilangnya calon Einstein dan Marry Curie'.

Di era kecerdasan buatan saat ini, kemampuan inovasi menjadi sangat penting dan strategis buat bangsa .

Kita harus mengerahkan semua sumber daya dan manusia dari semua kalangan sosial untuk bersaing secara global.

Pendidikan keluarga ternyata mendorong kesetaraan kemampuan inovasi antara anak didik dari keluarga miskin dan kaya.

Adapun sejak 2019, Kemendikbud justru ‘melebur' pendidikan keluarga ke dalam Ditjen Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah.

Dari kasus ini, kita dapat melihat rekomendasi Mitchel Resnick terkait dengan perubahan cara pandang dan perubahan struktur organisasi yang penting dipikirkan lagi dalam mengelola pendidikan kita agar tetap berderap maju di tengah perubahan besar saat ini.(mediaindonesia)

Penulis adalah seorang Pendidik dan peneliti kebijakan publik di Universitas Paramadina

Google News Satujuang

Dapatkan update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News