Satujuang- Beberapa lembaga dan ahli klimatologi memprediksi munculnya anomali iklim yang akan memicu hujan deras secara global, yaitu La Nina.
Dilansir dari CNN, La Nina muncul setelah fenomena lawannya, El Nino, berakhir di pertengahan 2024.
International Research Institute for Climate and Society (IRI) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya La Nina adalah nol selama musim dingin boreal (Desember–Maret) dan musim semi 2024 (Maret–Juni).
Namun, peluang klimatologisnya meningkat pada musim panas boreal 2024 (Juni–September), khususnya pada Juli–September 2024 dan seterusnya.
Menurut BMKG, El Nino terjadi ketika suhu permukaan laut (SST) di khatulistiwa Samudera Pasifik bagian timur dan tengah lebih panas dari normal (0,5 derajat Celsius atau lebih), yang mengakibatkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.
Sebaliknya, La Nina terjadi ketika suhu di wilayah yang sama lebih dingin dari normal (-0,5 derajat atau lebih), menyebabkan hujan lebih sering, risiko banjir, suhu udara lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
IRI memperkirakan bahwa munculnya La Nina terjadi setelah El Nino menjadi netral (di bawah 0,5 derajat C hingga 0 derajat C), yang diprediksi mulai terjadi di periode Maret-April-Mei (MAM) hingga Mei-Juni-Juli (MJJ).
Intensitasnya diprakirakan terus menguat hingga akhir tahun.
Meskipun demikian, sebagian model iklim memperkirakan bahwa fase ENSO netral akan menjadi yang paling mungkin terjadi usai kepergian El Nino.
Namun, BMKG juga memprediksi kemunculan La Nina pada semester kedua 2024.
Menurut pakar klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, El Nino akan segera berakhir dan akan diikuti oleh La Nina, terutama ketika memasuki periode Juli-Agustus-September.
Kondisi ini merupakan bagian dari proses alam dalam menyeimbangkan suhu permukaan laut.
Dengan demikian, prediksi secara konsisten menunjukkan kemungkinan munculnya La Nina setelah El Nino berakhir, yang akan memiliki dampak signifikan terhadap pola cuaca global.(nt)