Penulis: Pijar Qolbun Sallim
Satujuang– Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki. Pernyataan Bung Hatta tersebut seakan menjadi cambuk terhadap representasi dunia politik kita hari ini.
Nilai kebenaran dari argumen tersebut dapat kita lihat melalui pentas politik kita hari ini. Jujur dalam berdemokrasi sepertinya sulit kita temukan di dalam praktik politik negeri ini. salah bentuk ketidakjujuran yang sangat sering kita temui baik dari para politisi maupun rakyat sipil ialah praktik politik uang (money politik).
Politik uang (Money Politik) merupakan upaya untuk memengaruhi pilihan pemilih dengan memberikan imbalan materi berupa uang. Selain itu, praktik politik uang juga merupakan tindakan jual beli suara berdasarkan pertimbangan keuntungan berupa materi yang diperoleh. Politik uang telah menjadi persoalan di Indonesia sejak era orde lama, orde baru, bahkan hingga era reformasi.
Akan tetapi, jika merujuk pada sumber sejarahnya, politik uang sudah terjadi sejak zaman pemerintahan kolonial. Pada masa itu terdapat lembaga parlemen yang bernama Volksraad, pemerintah kolonial memberikan suap kepada masyarakat tertentu untuk memperoleh dukungan, selain itu, pemerintah kolonial juga mengendalikan hasil pemilu dengan praktik politik uang.
Artinya, bagi bumi nusantara praktik politik uang sudah bukan hal yang asing lagi, setiap diadakannya pemilu, maka akan muncul pertukaran atau tranksaksi antara calon legislator dan pemilih.
Pemilu memang pentas terjadinya proses pertukaran antara calon legislator dan pemilih maka hal penting yang akan menentukan berlangsungnya proses tranksaksi ini adalah sumber daya yang digunakan, sumber daya yang biasanya digunakan merupakan uang.
Politik uang seakan menjadi hal yang tidak pernah tinggal dalam setiap ajang pemilu di Indonesia, bahkan KPK dan Bawaslu acapkali menemukan pelanggaran terkait kasus politik uang dalam setiap kontestasi Pemilu. Hal tersebut menandakan bahwa politik uang masih dan akan terus terjadi di negeri ini.
Politik uang tidak hanya melunturkan asas pemilu, yakni jurdil (jujur dan adil), tetapi juga memudarkan nilai-nilai budi pekerti luhur seperti kejujuran, keadilan, bahkan kemampuan menahan diri agar tidak diperbudak jabatan. Praktik politik uang menjadi cikal bakal terjadinya tindakan korupsi, sebab peserta pemilu yang telah mengeluarkan modal yang tidak sedikit tentu berharap modal tersebut akan kembali. Berkaitan dengan itu, menurut KPK untuk menjadi bupati butuh modal hingga 30 Miliar, sedangkan gaji dan tunjangan yang diperoleh hanya sekitar 6 Juta per bulan.
Mantan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono pernah ditanyai oleh wartawan terkait potensi kepala daerah untuk melakukan korupsi, kemudian beliau menyampaikan “Pasti, harus itu, bukan potensi, harus korupsiâ€. Melalui pernyataan tersebut sangat jelas mengapa praktik korupsi selalu terjadi dan tentunya akan menghambat negara kita untuk maju.
Dalam konteks legislatif, sistem pemilu proporsional terbuka membuat caleg sulit bersaing secara sehat, pasalnya mereka tidak hanya berkompetisi dengan caleg dari partai lain, tetapi juga dengan caleg dari partai yang sama. Oleh karena itu, persaingan yang ketat akan membuat para caleg mementingkan ambisi pribadi dan memudarkan ideologi partai serta nilai-nilai dalam pemilu yang menyebabkan mereka menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu, termasuk dengan membeli suara para pemilih.
Preferensi Publik
Pada dasarnya, ada beberapa preferensi yang digunakan publik untuk menentukan pilihan ketika berhadapan dengan kontestasi pemilu, salah satunya berdasarkan materi. Biasanya calon pemimpin atau calon legislator akan memenuhi kebutuhan pokok bagi pemegang hak suara, misalnya dengan cara memberikan sembako atau uang tunai.
Dari sudut pandang rasionalitas, memang jelas masuk akal untuk memilih berdasarkan terpenuhinya kebutuhan pokok, tetapi terdapat miss konsepsi yang cukup fatal terkait alasan memilih berdasarkan unsur materialistik ini, pasalnya hal tersebut hanya bersifat pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan tidak memberikan pengaruh jangka panjang.
Seandainya calon pemimpin yang menawarkan hal tersebut merupakan orang yang korup, tidak punya pemahaman tentang politik, hukum, dan tata kelola negara maka kita sebagai pemilih akan dirugikan nantinya oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemimpin tersebut selama lima tahun ke depan, sementara pemilih menjual suaranya dengan sekantong beras atau uang 50—100 ribu.
Pada akhirnya, menentukan pilihan berdasarkan preferensi materialistik berarti rela disiasati selama lima tahun demi sembako atau uang yang tidak seberapa.
Oleh sebab itu, praktik politik uang harus segera dihentikan, baik dari peserta pemilu maupun dari masyarakat yang memilih. Jika persoalan ini dibiarkan maka akan berdampak kepada bangsa ini sendiri, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Selain itu, praktik politik uang juga menghilangkan ketulusan dan hati nurani dari masyarakat dalam memilih pemimpin karena masyarakat menjadi pamrih dalam memilih dan selalu berharap secara materi ketika adanya pemilu. Hal tersebut membutakan pandangan kritis masyarakat dan akan membuat masyarakat mudah untuk dikendalikan dalam praktik-praktik politik.
Sinergi Elemen Bangsa
Pada hakikatnya, upaya untuk menghentikan warisan budaya Politik Uang (Money Politik) bukan hanya tanggung jawab lembaga formal penyelenggara pemilu, melainkan tanggung jawab seluruh elemen bangsa.
Optimalisasi peran mahasiswa, memberikan edukasi politik secara merata, serta penegakan hukum yang tegas merupakan langkah konkret yang dapat diambil.
Optimalisasi peran mahasiswa merupakan salah satu langkah penting, sebab merekalah garda terdepan untuk menekan praktik politik uang agar tercipta demokrasi yang berkualitas. Melalui sikap anak muda yang kritis, idealis, dan akademis akan memaksimalkan sinergi antar lembaga pengawal pemilu. Selain itu, memberikan edukasi politik kepada publik, baik yang diinisiasi oleh lembaga formal maupun lembaga informal juga merupakan langkah konstruktif.
Sejatinya, yang harus diperhatikan ialah akses untuk mendapatkan edukasi politik yang mencakup seluruh lapisan masyarakat agar terbentuk masyarakat yang kritis, bijaksana, dan dewasa dalam menggunakan hak suaranya.
Pada akhirnya, penegakan hukum yang tegas menjadi langkah fundamental yang akan memberantas setiap upaya praktik politik uang. Institusi penyelenggara pemilu juga harus prinsipil dalam mengemban misinya dan menjaga amanat publik.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas